1.
Pengertian Bahasa
Menurut
Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang
keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk
mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang
mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah
disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan
sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan
dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang
dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu
sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
2.
Aspek Bahasa
Bahasa
merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi
ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik
badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda
yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap
oleh panca indra.
Berarti
bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia,
dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang
atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang
alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah
isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan
dari orang lain).
Arti
yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka.
Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu
rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah
seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau
canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu
masing-masing.
3.
Benarkah Bahasa Mempengaruhi Perilaku Manusia?
Menurut
Sabriani (1963), mempertanyakan bahwa apakah bahasa mempengaruhi perilaku
manusia atau tidak? Sebenarnya ada variabel lain yang berada diantara variabel
bahasa dan perilaku. Variabel tersebut adalah variabel realita. Jika hal ini
benar, maka terbukalah peluang bahwa belum tentu bahasa yang mempengaruhi
perilaku manusia, bisa jadi realita atau keduanya.
Kehadiran
realita dan hubungannya dengan variabel lain, yakni bahasa dan perilaku, perlu
dibuktikan kebenarannya. Selain itu, perlu juga dicermati bahwa istilah
perilaku menyiratkan penutur. Istilah perilaku merujuk ke perilaku penutur
bahasa, yang dalam artian komunikasi mencakup pendengar, pembaca, pembicara,
dan penulis.
3.
1. Bahasa dan Realita
Fodor
(1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud
dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan
makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang
dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak
memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang
itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena
itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Lebih lanjut Fodor mengatakan bahwa
problema bahasa adalah problema makna. Sebenarnya, tidak semua ahli bahasa
membedakan antara simbol dan tanda.
Richards
(1985) menyebut kata table sebagai tanda meskipun tidak ada hubungan kausal
antara objek (benda) yang dilambangkan kata itu dengan kata table.
Dari
uraian di atas dapat ditangkap bahwa salah satu cara mengungkapkan makna adalah
dengan bahasa, dan masih banyak cara yang lain yang dapat dipergunakan. Namun
sejauh ini, apa makna dari makna, atau apa yang dimaksud dengan makna belum
jelas. Bolinger (1981) menyatakan bahwa bahasa memiliki sistem fonem, yang
terbentuk dari distinctive features bunyi, sistem morfem dan sintaksis. Untuk
mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan dengan dunia luar. Yang dimaksud
dengan dunia luar adalah dunia di luar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur
bahasa. Dunia dalam pengertian seperti inilah disebut realita. Penjelasan
Bolinger (1981) tersebut menunjukkan bahwa makna adalah hubungan antara realita
dan bahasa. Sementara realita mencakup segala sesuatu yang berada di luar
bahasa. Realita itu mungkin terwujud dalam bentuk abstraksi bahasa, karena
tidak ada bahasa tanpa makna. Sementara makna adalah hasil hubungan bahasa dan
realita.
3.2.
Bahasa dan Perilaku
Seperti
yang telah diuraikan di atas, dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara
perilaku selalu merujuk pada pelaku komunikasi. Komunikasi bisa terjadi jika
proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat
berjalan dengan baik jika baik encoder maupun decoder sama-sama memiliki
pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama. (Omaggio, 1986).
Dengan
memakai pengertian yang diberikan oleh Bolinger(1981) tentang realita,
pengetahuan dunia dapat diartikan identik dengan pengetahuan realita. Bagaimana
manusia memperoleh bahasa dapat dijelaskan dengan teori-teori pemerolehan
bahasa. Sedangkan pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses
penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh
representasi mental realita melalui pengalaman yang langsung atau melalui
pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan
terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan
tersebut dari orang yang langsung menyaksikannya juga akan
membentuk
representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan
representasi mental pada kedua orang itu.
4.
Fungsi Bahasa
Menurut
Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang
paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak
dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih
jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil
menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi
lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti
berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan
bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut
untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu,
kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan
bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau
istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes,
sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan
tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui
bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan
tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi
bahasa.
Pada
dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan
kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai
alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat
untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya
arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan
dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa
Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia
persaingan
bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan
istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia.
Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana
berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo,
1993, 1995).
Menurut
Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak
dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur
budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai
akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan
sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat
berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa
sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam
menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa
merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil
pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang
digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan
menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa
Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di
dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu
menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
(lihat
selngkapnya klik aja judulnya)
4.1
Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada
awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau
perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya,
seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan
kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi denganlingkungan di sekitarnya.
Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri
maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui
tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri
seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu
tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk
mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah
buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak
memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita
tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi,
pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada
siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda
kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada
teman kita.
Pada
saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai
bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi
pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya
untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni
bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi
diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam
dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur
yang mendorong ekspresi diri antara lain :
-
agar menarik perhatian orang lain terhadap kita,
-
keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada
taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk
menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).
4.2
Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi
merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan
sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.
Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi
semua
yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh
orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai
alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan
perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga.
Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan
mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada
saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki
tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan
gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain
yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh
lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini
pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita
menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak
sasaran kita.
Pada
saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga
mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena
itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya,
kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu,
namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata
griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma.
Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif
karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi
nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa
intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa
sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan
alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan
sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara
kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik
sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
4.3
Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa
disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia
memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian
dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang
lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien
melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap
orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya,
serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh
mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya.
Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan
masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara
berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula
sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada
lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan
bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan
bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang
nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang
tua atau orang yang kita hormati.
Pada
saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana
cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan
menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah
kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau
Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar
ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia
menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita
mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara
berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa,
kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
4.4
Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai
alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan
pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi,
maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku
instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol
sosial.
Ceramah
agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol
sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol
sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk
show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial
merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua
itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk
memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di
samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain
mengenai suatu hal.
Contoh
fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan
adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang
sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan
marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita
berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas
dan tenang.
5.
Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar
Bahasa
bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa
bukan sekedar berkomunikasi, berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa
yang berlaku. Ungkapan “Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.”
Kita tentu sudah sering mendengar dan membaca ungkapan tersebut.
Permasalahannya adalah pengertian apa yang terbentuk dalam benak kita ketika
mendengar ungkapan tersebut? Apakah sebenarnya ungkapan itu? Apakah yang
dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang
benar?
5.1
Bahasa yang Baik
Penggunaan
bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa
kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada
siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur,
pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak
sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil
dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa
untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak
dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan,
misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang
dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa
tentu jauh berbeda.
Lebih
lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur
komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian
pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan
suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya,
bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan
telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat,
media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin
disampaikannya kepada penerima pesan.
Marilah
kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa
penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi
pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan.
Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis
itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu
disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam
pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan
kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.
5.2
Bahasa yang Benar
Bahasa
yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan
dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah
tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa
dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis.
Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa
tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami
kesulitan dalam bermain dengan bahasa.
Kriteria
yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa.
Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi (fonologi), (2)tata bahasa (kata dan
kalimat), (3) kosa kata (termasuk istilah), (4), ejaan, dan (5) makna. Pada
aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena
itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi,
zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat,
ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah
kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot. Pada aspek
tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah,
mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah,
robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari
segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung
subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek.
(1)
Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada
jumlah pria. Jika kata pada yang mengawali pernyataan itu ditiadakan, unsur tabel
di atas menjadi subjek. Dengan demikian, kalimat itu benar. Pada aspek kosa
kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan
berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang
benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar
udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah
yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi.
Dari
segi
ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas,
dan hierarki. Dari segi maknanya, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan
ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya dalam
bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang sifatnya konotatif (kiasan).
Jadi penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan
kaidah bahasa.
Kriteria
penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai
dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang
dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau
pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu
bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan
tata nilai masyarakat kita. Penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam
penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi
kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan.
Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang
efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara
tepat (Dendy Sugondo, 1999 : 21)..Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya
menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek
komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu hanus merupakan bahasa
standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu berarti bahwa
bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi
dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar.
Ragam
Bahasa
Ragam
Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik
yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang
dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang
oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi),
yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan
teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat
menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam
bahasa resmi.
Menurut
Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia,
timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku.
Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan
resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di
rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau
dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1)
ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat
ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa
lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan
huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam
bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita
berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan
kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa
tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena
itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal,
kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki
seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya.
Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing
memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar